Laimnana – A Brief History Bayangkan menyaksikan galaksi, bintang dan planet menari di langit malam—tanpa harus meninggalkan ruangan. Pengalaman luar biasa ini pertama kali diwujudkan di kota Munich, Jerman, pada tahun 1925. Di sanalah, di dalam Deutsches Museum, berdiri planetarium pertama di dunia yang membuka jendela ke alam semesta bagi jutaan manusia, jauh sebelum era teknologi digital seperti sekarang.
Awal Mula Ide Cemerlang
Segalanya bermula dari visi seorang pria bernama Oskar von Miller, pendiri Deutsches Museum. Ia merasa bahwa keajaiban langit malam terlalu berharga untuk hilang begitu saja akibat polusi cahaya yang semakin merajalela di kota-kota besar. Ia ingin menciptakan sebuah tempat di mana orang bisa menikmati keindahan langit berbintang kapan saja, tanpa harus menunggu malam cerah di pedesaan.
Untuk mewujudkan mimpinya, von Miller menggandeng perusahaan optik ternama asal Jerman, Carl Zeiss. Perusahaan ini sudah dikenal karena kecanggihan instrumen optiknya, dan proyek ini menjadi tantangan baru yang sangat menarik.
Peran Kunci Walther Bauersfeld
Proyek ambisius ini dipimpin oleh Walther Bauersfeld, seorang insinyur jenius dari Zeiss. Bauersfeld mengembangkan sistem proyeksi inovatif yang bisa menampilkan bintang-bintang secara realistis di permukaan kubah. Hasilnya adalah proyektor Zeiss Model I, yang pertama kali dipasang di museum pada tahun 1923.

Baca Juga : Beban Anggaran Negara Meningkat, Defisit APBN 2025 Diperkirakan Capai Rp 662 Triliun
Proyektor ini memiliki bentuk menyerupai bola besar bertabur lensa kecil yang masing-masing memproyeksikan cahaya bintang ke arah tertentu. Sistem ini memungkinkan simulasi langit malam yang akurat, termasuk pergerakan planet dan bintang sesuai waktu nyata.
Peresmian dan Keajaiban Baru
Meski instalasi awal dilakukan pada 1923, planetarium resmi dibuka untuk umum pada 7 Mei 1925. Saat pintu dibuka, masyarakat langsung dibuat terpukau. Duduk di kursi yang menghadap ke langit-langit kubah, penonton seolah dibawa ke tengah malam yang jernih, jauh dari keramaian kota. Untuk pertama kalinya, bintang bisa “dihadirkan” secara instan, tanpa bergantung pada cuaca.
Antusiasme masyarakat sangat besar. Ribuan orang mengantre untuk melihat pertunjukan langit buatan ini. Dalam waktu singkat, planetarium menjadi daya tarik utama Deutsches Museum.
Warisan yang Terus Bersinar
Sejak itu, teknologi planetarium terus berkembang. Carl Zeiss merilis model-model proyektor baru, semakin realistis dan canggih. Kini, planetarium modern menggunakan proyeksi digital dan bahkan realitas virtual untuk menjelajahi alam semesta, dari permukaan Mars hingga tepi galaksi.
Namun semua itu berakar dari satu tempat: sebuah ruangan berkubah di Munich yang, seratus tahun lalu, memulai revolusi kecil dalam cara manusia melihat langit.